Kamis, 19 April 2012

LIFE

“Aku dilahirkan dari sebuah kedalaman rasa, bhkan aku tak pernah merasakan dalam kehidupanku sebuah logika. Semuanya rasa. Ibarat seseorang tergores pisau tajam berkilau lalu ngilu, lalu perih, lalu limbung. Itulah, semacam itulah kehidupan yang telah menjadi ruang bagi gerakku. Ibuku juga rasa itu. Ibuku bahkan guru dari rasa. Ia seperti tak pernah berpikir. Ia membimbingku dengan rasa. Ibu muncul di hadapanku seperti desiran angin malam saat jendela masih terbuka, atau kadang seperti guyuran hujan lebat saat aku tak berpayung. Dan kini aku hadir menebar rasa buat siapa saja!”

CINTA DI UJUNG PELANGI

Menantikan hujan berhenti dan memberikan senyuman terindah untukku. Warna senyuman yang indah, yang memberikan warna dalam hidupku. Tapi sebelum kehadirannya, senyuman itu selalu membawakanku selimut gelap, menyelimutiku dalam ketakutan, berwarna hitam, kelam. Suaranyapun memecah keheningan dalam hatiku.
Tak dapat lagi berkata, tak dapat lagi bermimpi. Tinggal menghitung hari. Setiap hari hanya menantikan senyum itu hadir menyapaku setelah kegelapan yang menyelimuti hatiku. Dan menantikan dirinya, pangeran pembawa pelangi yang biasa menemaniku. 
Dalam anganku, aku selalu bermimpi dapat selalu bersama pangeran pembawa pelangiku, menanti pelangi diujung danau yang sering aku singgahi. Tersenyum bersama dalam keramahan alam. Berbagi canda dan tawa dalam suka dan duka. Apa yang sedang terjadi padanya sekarang ini? sikapnya atas diriku berbeda, tak sama seperti dulu.
                                                                ***
Pagi yang selalu hadir dan sang fajarpun senantiasa menyapaku. Memberikan alunan termanis dalam sentuhan pagi.
“ahhhhhh…. Sudah pagi kah ini?” gumanku lirih sembari bangkit dari tidurku
 “Sifa… bangun nak, kamu nggak sekolah nak?” berjalan mendekat kearah kamarku, dan mencoba memanggilku.
“Iya ibu, sifa bngun.” Akupun segera beranjang dari kasur empukku yang setiap malam menemaniku menjelajahi dunia mimpi.
Iya, aku, Sifa. Gadis berusia 17 tahun. Aku baru masuk SMA tahun ini, SMA Pelita. Aku suka menulis. Kehidupanku seperti kertas putih yang setiap hari aku goreskan tinta merah, hitam, pink, coklat, keemasan dan penuh dengan warna. Aku ingin sekali menerbikan sebuah novel, novel yang tidak hanya menguras air mata tapi memberikan kisah yang bermanfaat dan memiliki arti.
 Tempat yang paling aku suka yaitu danau pelangi, tempat dimana pertama kali aku bertemu dengan sosok pria yang bisa membuatku tersenyum lebar saat berada disampingnya, pria yang aku kagumi dan yang sekarang menjadi kekasihku. Ya, Fadil yang sudah menemaniku sekitar satu tahun lamanya. Yang aku harapkan kelak menjadi pendamping hidupku.
 Berbicara tentang danau pelangi, aku menyukai pelangi, warna kehidupan yang indah, yang selalu temaniku setiap hujan reda, dari warna gelap sampai terang. Setiap hujan reda aku bersama Fadil pergi kedanau pelangi untuk melihat senyman dari wajah alam. Kita yang memberikan nama danau pelangi karna setiap saat setelah hujan reda, kita pergi ketempat itu untuk melihat indahnya warna kehidupan yang begitu indah disuguhkan  dengan jelas oleh alam yang berupa senyuman terindah untuk kita.
Tapi mungkin sekarang warna gelap yang sedang singgah dikehidupanku. Saat dirinya berubah dengan segala sikapnya atas diriku. Sejak seminggu yang lalu sebelum hari sepecial untuk kita berdua, hari jadi kita yang kedua tahun. Dan tinggal 4 hari lagi menuju hari itu. aku berarap keajaiban  datang sebelum hari itu, berahap agar dia bisa kembali seperti dulu, mencintai dan menyayaiku dengan tulus. J
                                                                         ***
“Sifa….” Teriak dyta teman sekelaku.
 Akupun menoleh kearah dyta yang tepat berada dibelakangku dengan wajah sok imutnya.
 “Hay… lho kok  tumben kamu sudah ada disekolah dyt?” Candaku untuk temenaku yang satu ini yang sering kali terlambat masuk sekolah.
“Ihhh,,,, Sifa gitu deh ma aku, emang setumben itu kah aku masuk sekolah sepagi ini?” memasang tampang memelasnya yang terkadng membuatku jengkel L.
“Aduh,,, temen aku yang cantik dan yang paling limut ini, jangan ngambeg gitu dong. Aku cuma bercanda aja dyt.” Denga tersenyum dan memegang tangan dyta.
“teng,,,,teng,,,teng,,,” lonceng sekolahpun berbunyi, dan bergegaslah aku, dyta dan semua siswa lain masuk kelas.
                                                                ***
Di dalam kelas, entah mengapa hari ini aku tak bisa fokus didalam menerima pelajaran. “Apa yang akan terjadi?” Bisikku dalam batinku.
Jam pertama pelajarn telah lewat, tapi aku tak tahan ingin kebelakang karena panggilan alam yang mendesak perutku. J
“Bu……” panggilku ke guru mapel jam kedua di ruang kelasku
“Iya Sifa, ada pertnyaan?” Tanya guruku
“Tidak bu, boleh saya kebelakang sebentar bu?” mendekat kearah meja guruku yang sedang menerangkan
“Iya, silahkan.” Memberi ijin aku untuk keluar kelas.
Aku bergegaslah keluar dari kelasku. Dengan cepatnya aku berjalan, aku tak sengaja melihat Fadil dengan seorang wanita berdua digerbang sekolahku, mereka sedang ngobrol disana, dan aku tak tau apa yang sedang mereka bicarakan. Aku mengabaikan sakit perutku, akupun segera menghampiri mereka secara diam-diam.
“ Fadil.” Kataku heran.
Fadilpun menoleh kearahku dengan wajah terkejutnya menemukan aku tepat berada di belakangnya.
“ S-I-F-A.” gumannya dengan wajah terkejutnya.
“ Kamu sedang apa disini dan siapa dia?” Tanyaku heran sambil menunjuk kearah wanita yang bersama Fadil.
“A…..aku, aku ada kerjaan disini dan dia temen satu tugasku ditempat les, kebetukan dia satu sekolah denganmu.” Jawabnya dengan gugup.
“ kamu tidak sedang bohongkan?” Tanyaku tak percaya dengan penjelasan Fadil.
“ emangnya wajah aku sedang bohong? Kamu tidak percaya dengan kekasihmu sendiri? Aku heran sama kamu, kenapa sih dikit-dikit tanya, dikit-dikit mikir yang nggak-nggak, deket sama cewek lain kamu kira aku suka atau apalah. Capek tau.” Jawabnya sambil menyentakku. Aku hanya bisa diam dan menangis mendengar kata-kata kasarnya yang sering keluar saat dia marah. Aku memang selalu cemburu saat dia dekat dengan wanita lain. Mungkin karena persan sayang ini yang terlanjur singgah di hatiku. Aku berfikiran seperti itu karna hati ini pernah ia gores berkali-kali. Menduakan cintaku dan lebih memilih wanita lain dari pada aku dan aku tak ingin itu kembali terulang.
“iya aku percaya sama kamu.” Jawabku dengan berlinang air mata menatapnya.
“gitu dong sayang, jangan nangis lagi dong.” Tersenyum kepadaku sambil merangkul tubuhku. Saat itu aku menaruh kepercayaannya untuknya.
“oke, sekarang sebaiknya aku pergi dulu ya. Nanti hubungin aku lagi ya dil untuk gemana-gimananya.” Sela wanita yang bersama Fadil tadi.
“oke, nanti aku hubungin lagi.” Tersenyum dengan wanita itu dan melambaikan tangannya. Akupun melepas rangkulan Fadil dan menatap matanya.
“kamu beneran tidak ada apa-apa dengan wanita itukan?” tanyaku lagi meyakinkanku.
“akukan sudah bilang dia cuma temen aku, jelas?” jawabnya dengan wajah jengkelnya.
“oke, aku percaya. Hemmmm… sayang, nanti sepulang sekolah kamu bisa nganterin aku ke toko buku nggak?” Ajakku kepadanya.
“aduh sorry sayang nanti aku ngerjain tugas sama temenku tadi jadi maaf  nggak bisa, nggak apa-apakan?” jawabnya dengan tersenyum kepadaku.
“iya, nggak apa-apa kok.” Tersenyum kearahnya. Akupun segera bergegas kembali ke kelasaku.
                                                                ***
Waktu jam sekolahpun telah usai, akhirnya aku pergi ke toko buku sendiri. dan tanpa aku sengaja sesaat setekah aku keluar dari toko buku itu, aku melihat Fadi dengan wanita itu  berdua berboncengan ditengah hujan layaknya sepasang kekasih. Betapa sakit dada ini melihatnya berdua dengan wanita lain. Aku tak sanggup melihatnya. L
Sesampainya aku dirumah, aku tak sanggup lagi menopang tubuhku yang lemah karnanya. Menangis bersamaan hujan turun ditemani gemercik air yang kian deras. Belum berakhir kesedihan ini, aku dikejutkan dengan kabar yang tak pernah aku inginkan. Kabar Fadil, dia mengalami kecelakaan dengan wanita yang berada bersamanya tadi. Betapa terkejutnya aku mendengar kabar itu. Tak kuasa aku mendengar kabar itu sampai-sampai kaki ini tersa lemas, seperti tulang-tulang kaki ini lepas dari dagingnya, sakit yang teramat sangat.
Akupun tak mau hanya berdiam diri dan menangisinya, aku segera mengegas motorku kembali, menerjang hujan yang semakin deras. Di dalam benakku hanya ada persaan sedih melihat kekasih yang aku sayang terbaring dengan penuh luka dan mersakan sakit yang luar biasa. Seandainya Allah mengijinkan, aku ingin berpindah posisi dengannya. Biarlah aku yang mersakan sakit itu, terbaring dengan luka-luka itu.
Tak lama beberapa jam, sampailah aku dirumah sakit yang merawat Fadil.
“Dit, gimana keadaan Fadil?” tanyaku dengan berlinang air mata.
“Sifa, kamu yang sabar ya. Tadi dokter berkata kalau Fadil mengalami cacat mata permanen akibat pecahan kaca mobil yang ia tabrak dan wanita yang bersamanya hanya luka bagian kaki dan tangannya. Tapi kata dokter jika ada orang yang mau mendonorkan korneanya untuk Fadil, insyallah Fadil bisa melihat lagi” Jelas dita sambil memegangi pundakku.
 “ Ya Allah, separah itu dit? Lalu sekarang dimana Fadil?” tanyaku lagi dengan rasa ingin cepat-cepat bertemu Fadil.
“Dia ada dikamar melati, bersama ibu dan keluarganya.” Jawab dita dengan wajah yang masih sedih menatapku. Akupun segera berjalan menuju kamar Fadil. Aku melihat Fadil terbaring lemah dengan beberapa luka di tubuhnya. Berjalan aku menuju tempat Fadil
“Sifa.” Kata ibunya. Aku terus berjalan menghampiri Fadil dengan wajah yang tak percaya dengan apa yang sedang aku lihat.
“Sifa, maafkan Fadil jika dia sering kali membuatmu menangis.” Kata ibu Fadil sambil menatap mataku yang penuh dengan air mata.
“Iya bu, Sifa sudah memaafkan semua kesalahan Fadil dan Sifa tidak pernah menyalahkan Fadil dengan semua yang telah ia lakukan ke Sifa. Siafa menyayanginya bu, menyayanginya apa adanya, meski ia tak mampu lagi melihat Sifa tetap sayang bu.” Jelasku dengan memegangi tangan Fadil yang masih tak sadarkan diri.
“Trimakasih Sifa.” kata ibu Fadil sambil tersenyum padaku.
                                                             ***
 Pagi yang biasanya aku isi dengan tawa mendengar suaranya, kali ini hanya kesedihan yang aku rasakan melihat dia yang sedang terbaring lemah. Aku tak percaya semua ini bisa terjadi. Melihat kekasih yang aku sayang tak mampu melihat lagi. Andai aku bisa menggantikan posisinya.
 Beberapa jam kemudian, Fadil mulai sadar, beratpa senangnya hati ini melihat dia tersadar dari komanya.
“Fadil, ini aku Sifa.” Kataku terharu
“Sifa, kenapa semuanya gelap? aku tak bisa melihat.” Tanyanya padaku.
” Fadil kamu yang sabar ya, mata kamu buta permanen akibat dari pecahan kaca yang kamu tabrak, tapi jika ada orang yang mau mendonorkan korneanya untukmu, kamu bisa melihat lagi.” Jelasku dengan memegangi tangan Fadi sambil menenangkannya.
“Apa? Aku buta?” tanyanya lagi dengan berlinang air mata. Dia menangis setelah mendengar semua kenyataan yang dia harus trima.
Tak lama beberapa saat kemudian, wanita yang berada bersamanya saat kecelakaan itu terjadi tiba-tiba menemui Fadil.
“Fadil.” Kata wanita itu yang muncul dari pintu kamar Fadil.
“Indah, itu kamu?” sambil mencari-cari sumber suara itu.
“iya ini aku. Maaf Fadil aku tidak bisa meneruskan hubungan ini. Kamu sekarang buta dan apa yang  bisa kamu lakukan dengan keadaan kamu yang sekarang untuk membahagiakan aku. Maafkan aku Fadil, aku harus pergi.”
“Indah apa maksudmu? Aku lebih memilihmu dari pada Sifa, kenapa kamu pergi dariku setelah aku buta?” mencari-cari wanita yang bernama Indah itu dengan masih menangis.
Betapa sedihnya aku mendengar kata-kata yang keluar dari mulutnya yang lebih memilih wanita itu dari pada aku. Betapa hancur perasaanku saat itu.
“Fadil, kamu tenang ya.” Kataku sambil menenangkannya.
“Pergi, pergi. Kamu pergi dari sini!” bentaknya kepadaku dengan wajah yang marah.
Akupun pergi meninggalkannya untuk sejenak membiarkannya untuk menenangkandirinya.
                                                        ***
Hari berikutnya sehari sebelum hari sepecial kita yang kedua tahun, aku memutuskan memberikan kornea mata ini untuk Fadil. Meski aku tak dapat lagi melihat tapi aku masih mampu merasakan kebahagiaannya. Mendengar tawanya yang mampu membuatku tersenyum dalam dukaku, memberikan semangat dalam keputus asaanku. Aku ingin tetap mendengar tawanya.
Aku tak mau membuang-buang waktuku, segeralah aku menuju rumah sakit dimana Fadil dirawat bersama sahabatku dita. Sebelum aku tak bisa melihatnya kembali, terakhir kali aku menulis surat untuknya yang aku titipkan ke sahabatku itu.
“Dit, aku mau setelah Fadil melakukan operasi matanya, kamu berikan surat ini untuknya dan aku mohon jangan pernah bilang kalau kornea mata ini dari ku, aku mohon.” Pintaku ke dita dengan mata berkaca-kaca.
“Kamu yakin ingin melakukan itu semua untuk Fadil? Dia sudah menyia-nyiakanmu tapi kenapa kamu masih mau memaafknnya dan malah mau mendonorkan korneamu untuknya?” tanya dita dengan wajah yang penuh tanda tanya.
“Aku menyayanginya tulus dari hatiku dan aku tak pernah menyesal melakukan ini semua untuknya. Aku senang dapat mendengarnya tetsenyum dan tertawa kembali.” Jelasku dengan memegang tangan Dita.
Akupun mulai memasuki kamar priksa dan melakukan operasi pencangkokan kornea ditemani sahabatku. Saat itu pula Fadil melakukan operasi mata bersamaku di dalam ruangan yang sama dan itupula terakhir kali aku melihat dia tersenyum mendengar jika matanya bisa sembuh dan bisa melihat lagi.
Setelah selesai pencangkokan, aku berdiri di kaca jendela kamar Fadil bersama sahabatku. Aku begitu senang melihat operasi itu berhasil dan Fadil dapat melihat kembali.
“Sifa, aku Bangga punya sahabat sepertimu. Kamu begitu tegar menghadapi semua cobaan yang kamu alami dan kamu tetap bisa tersenyum saat orang yang palimg kamu sayangi menghiyantai dan menyianyiakanmu. Aku bangga denganmu sobat.” Kata dita sambil menggengam tanganku. Aku hanya tersenyum dan merasakan kebahagiaan kekasihku yang bisa tertawa lagi dan dapat melihat lagi. J
                                                    ***
Sore itu, tepat dihari yang aku nanti-nantikan. Hari ini usia hubunganku dengan Fadil tepat berusia dua tahun tapi disore ini aku tak bisa melihat pelangi bersamanya. Ditengah hujan, aku berdiri menantikan sapaan senyum terindah dari alam sendirian tanpa Fadil. L
Disisi lain Fadil hari ini dibolehkan untuk pulang dan Dita berada disana menyampaikan pesan yang ku tulis sebelum aku mendonorkan korneaku untuknya.
“Fadil.” Kata dita yang berada dikamar Fadil.
“Kamu dit, ada apa?” jawab Fadil sembari membereskan pakaiannya.
“Aku punya pesan dari Sifa untukmu.” Jelas dita
“Aku tidak ingin mendengarnya. Saat aku butapun dia tidak ada disampingku menemaniku. Aku tidak ada waktu untuk membaca pesan dari dia. Aku harus nemuin Indah.” Jawab Fadil ketus.
“Kamu bodoh. Kamu lebih memilih wanita yang jelas-jelas meninggalkanmu saat kamu dalam keadaan buta tapi kamu malah menyianyiakan wanita yang selalu setia denganmu. Menunggumu saat kamu terbaring koma dirumah sakit. Wanita yang mampu memaafkanmu saat kamu melakukan kesalahan terbesarpun. Baca dan renungi kesalahanmu.” Kata dita dengan berlinang air mata. Fadilpun mulai membaca sepucuk surat dariku untunya.
Aku tak ingin melihat saat kau lukai aku
Aku tak ingin melihat saat kau patahkan hatiku
Aku tak ingin melihat saat kau duakan cintaku
Biarkan mata ini buta, tapi hati ini tak buta untukmu
Ku berikan kornea ini untukmu sayang, meski aku tak bisa melihat indahnya alam dengan mataku sendiri, tapi aku masih bisa melihat pelangi bersamamu sayang, mendengar tawamu meski aku tak dapat melihat . Aku menyayangimu FADIL.
“Kamu sekarang sudah tahukan seberapa besar Sifa menyayangimu. Dia rela buta demi kebahagiaanmu. Dia benar-benar menyayangimu dengan tulus. Tak pernah dia menghiyanatimu, dia selalu setia untukmu. Selalu mencoba membuatmu bahagia meski dia yang harus merasakan duka.” Jelas dita yang tak henti-hentinya menangis di depan Fadil.
“Apa kornea ini milik Sifa?” tanya Fadil dengan mata yang berkaca-kaca.
“Iya, kornea yang sekarang ada dimatamu itu milik Sifa. Sekarang dia tidak bisa melihat lagi dan dia harus mengurungkan niat dan cita-citannya menjadi novelis. Dia merelakan semua itu untuk kebahagiaan mu, kebahagiaan kekasihnya yang tak pernah setia setulus hati mencintainya.” Kata Dita dengan wajahnya yang geram dengan tingkah Fadil.
“Begitu besar cinta dan sayang Sifa terhadapku. Aku tak pernah menyadari itu selama ini. Dia masih mau menerima maafku setelah sekian kali aku menyakitinya. Apa kali ini Sifa masih mau memaafkan ku?” tanya Fadil kepada Dita.
“Mungkin kamu akan sadar dengan cinta Sifa terhadapmu setelah Sifa telah tiada, pergi meninggalkan mu untuk selamanya. Aku yakin Sifa masih mau memaafkanmu jika kamu mau benar-benar berubah untuknya.” Jawab Dita sambil sedikit menyindir Fadil.
“Dimana Sifa sekarang, aku ingin menemuinya.” Tanya Fadil dengan penasaran.
“Kamu ingat hari ini hari apa? Dia berada ditempat pertama kali kalian jadian, dia sedang menantikan pelangi kalian disana.” Jelas Dita kepada Fadil.
“Iya, aku tau dia sekarang ada dimana. Didanau pelangikan?” jawab Fadil dengan wajah sumringahnya. Fadilpun segera bergegas meninggalkan rumah sakit dan bergegaslah dia menuju ketempat pertama kali kita jadian untuk menemuiku.
                                                         ***
Sedangkan aku disini terdiam menantikan hujan di senja ini berhenti dan mulai memberikan warna baru dalam kehidupanku. Aku tetap berdiri terdiam dalam keheningan senja itu, menangis dalam hujan.
Tiba-tiba aku mendengar ada suar yang memanggilku. Semakin lama suara itu terdengar jelas mendekat kearahku. Suara yang ku kenal dan tak asing lagi di telingaku. Suara pria yang aku sayang, yang setiap pagi selalu memanggilku dengan “MY PRINCESS”, yang sekarang tak pernah lagi ia memanggilku seperti itu. Iya, Fadil. Akupun segera mencari-cari sumber suara itu.
“Fadil, apa itu kamu?” triakku mencari-carinya.
“Iya Sifa, ini aku Fadil. Maafkan aku Sifa, aku seringkali menyakiti hatimu dan membuatmu menangis atas sikapku kepadamu. Jika aku kau berika kesempatan untuk merubah segalanya, aku berjanji kepadamu sayang, aku akan selalu membahagiakanmu dan menyayangimu, mencintaimu sepenuh hatiku. Menjagamu dan tak akan pernah aku ulangin kesalahan yang sama untuk yang sekian kalinya. Aku akan selalu menjaga hatiku hanya unukmu sayang. Aku sayang kamu Sifa dan aku tak ingin kehilanganmu.” Berbisik ditelingaku sembari memeluk tubuhku.
“Fadil, aku akan selalu membukakan pintu maafku untukmu. Berapa ribu jarum yang kau tusukkan dihatiku aku akan selalu memaafkanmu, karna aku menyayangimu, “Pangeran pembawa pelangiku”. Aku juga menyayangimu Fadil.” Jawabku dengan penuh haru.
“Trimakasih sayang. Aku tak akan pernah melepasmu dan aku tak akan pernah menyianyiakanmu lagi. Aku akan selalu menjagamu dihatiku.” Katanya dan semakin erat ia memeluk tubuhku.  
Aku begtu senang mendengar semua itu keluar dari mulutnya. Sampai-sampai aku tak ingin melepas pelukannya dari tubuhku.
“Sayang, selamat hari jadi kita ya.” Sembari mencium keningku.
“kamu ingan sayang dengan hari ini.” tanyaku dengan terkejutnya.
“Iya ingatlah sayang. Sore ini pertama kali kita jadiankan? Lihat sayang, alam tersenyum pada kita.” Kata Fadil dengan tetap memelukku.
“Pelanginya terlihat sayang?” tanyaku penasaran.
“Iya sayang. Ada merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila dan ungu sayang.” Jelasnya padaku.
“Pasti indah sekali ya sayang?” tanyaku kembali.
“Iya sayang. Indah seperti hatimu. Aku tidak akan pernah pergi lagi dan kamu harus janji kepadaku, kamu juga jangan pernah ninggalin aku” berkali-kali mencium keningku.
“Iya sayang. Aku tidak akan pernah meninggalkan kamu.” Tersenyum kepadanya.
Meski dalam keadaan buta, aku tetap bahagia karena dalam gelapku masih ada cahaya yang selalu menemani jalanku. Bersama Fadil hari-hariku kembali cerah dalam gelapku. Damai dalam dekapannya, terasa nyaman saat berada disampngnya. Dia yang menjadi mataku, menuntunku dalam gelap. Bersamanya adalah harapanku, tetap dapat merasakan indahnya warna pelangi di ujung danau pelangi bersamanya.




by: Winda Prameswara




CATATAN TAHUN BARU


Malam yang semakin larut dan tak ada lagi sosok yang berlalu lalang didepan teras rumahku, yang ada hanyalah suara jangkrik dan hamparan angin malam yang dingin menusuk kulit dan menghempas sampai ketulang. Aku duduk terdiam dalam lamunanku, membayangkan dan berfikir mengapa semuanya kosong? Apa yang sedang mereka fikirkan, Hingga kita berpecah seperti ini?
Dimalam ini aku hanya duduk terdiam tanpa berkata seribu kalimat yang sering aku ucapkan. Hanya kedipan mata yang penuh tanda tanya yang aku sorotkan ke beberapa bintang yang menemaniku malam ini. Persahabatan yang mungkin belum lama kita jalin kini retak seperti kaca yang pecah, serpihannya bertebaran dengan fikiran mereka masing-masing. Ada yang bertebaran tanpa kawan dan ada juga yang bertebaran dengan kawan. Saat ini aku tak tahu aku memihak siapa, siapa yang salah dan siapa yang benar, siapa yang berhak dan siapa yang tidak berhak. Semuanya menjadi pertanyaanku setiap kali aku melihat mereka berseteru. Suasana persahabatan itu berubah menjadi suasana permusuhan seperti singa yang haus akan mangsanya. Siapa yang berhak atas mangsanya dan yang kuatlah yang akan menang.
***
Pagi itu aku terdiam disudut lorong kantin, menunggu ketiga sahabatku datang. Disana aku masih dalam keadaan tidak sadar seperti aku masih berada dalam mimpiku. Keinginanku untuk menyatukan kaca-kaca yang telah retak itu menjadi sebuah kaca yang indah dengan hiasan-hiasan lampu yang berpijar membuatku banyak melamun. Aku terus terhanyut dalam lamunanku, yang ada diotakku saat ini hanyalah sahabat-sahabatku.
“Ra…..!!” terdengar suara yang memanggilku dari belakang. Suara itu memecah lamunanku dan aku serentank menoleh kearah suara itu.
“Ra, gimana sich kamu itu. dipanggil tiga kali nggak ada respon sama sekali. Ngelamunin apa sich?” tanya sahabatku astrid.
“hayoo.. ngelamunin Fandi ya?” goda temanku syasya.
“ah…. Kalian ini, nggak kok cuma lagi mencari imajinasi nich buat cerpen baruku…. hehehehe” jawabku bergurau.
“lho.. kalian cuma berdua? Thata keman?” sambungku lagi
“udahlah jangan bahas thata disini, males banget punya sahabat yang nggak punya hati seperti dia.” Jawab astrid dengan ketusnya.
“iya Ra, udahlah kamu jangan bahas-bahas penghiyanat itu lagi. dia lebih memilih laki-laki itu dibanding kita-kita, sahabatnya. Dia malah milih cowok yang belum dia kenal. Apa coba kalau bukan penghiyanat?” sahut syasya dengan wajah yang garang.
Aku hanya terdiam dengan seribu kalimat yang keluar dari bibir astrid dan syasya. Aku bingung dengan apa yang mereka fikirkan. Mengapa hanya gara-gara sosok baru yang hadir dalam persahabatan kami membuat semuanya retak. Hanya gara-gara Indra kakak kelas kami yang mulai mendekati Thata.
“ngapain sich kalian terus-terusan kayak gini? Aku bingung mengapa kita nggak bisa akur kayak dulu lagi. Apa yang salah?” tanyaku dengan sorot mata yang berkaca dan pergi meninggalkan astrid dan syasya.
***
Kuberjalan dengan penuh fikiran. Tanpa tentu arah aku terus menelusuri jalan yang tanpa tujuan. Menjelajahi fikiranku yang membuatku slalu bertanya-tanya. Tanpa ku sadari, aku sampai pada ujung jalan yang sering kami berempat singgahi sepulang sekolah. Aku duduk diantara bunga-bunga yang memberikan warna tempat favorit kami. Indah dan membuat hatiku tenang saat berada disana. Aku mulai berfikir kapan waktu yang tepat untuk mempertemukan mereka bertiga dan menyatukan retakan-retakan itu.
“Kring.. kring.. kring..” tiba-tiba HP ku berbunyi dan ku lihat ada satu pesan dari Fandi.
Sayang, kamu sekarang ada dimana? Aku cari disekolah kamu sudah nggak ada. Nanti sore aku tunggu kamu ditempat biasa ya. Love you sayang.
***
“sayang, kamu kok bengong aja? Ada masalah? Kamu cerita dong sama aku.” hibur Fandi sambil menatap mataku yang kosong.
Aku hanya terdiam dan entah memengapa seperti hanya ragaku yang ada saat ini bersama Fandi. Semua fikiranku melayang entah kemana. Semuaya serasa mengambang dalam ingatanku.
“sayang…” panggil Fadil membangunkanku dari lamunanku.
“i……..iya syang, ada apa?” jawabku kaget.
Fandi pun memeluk tubuhku dan dia terus memberiku semangat dan dorongan. Dia tak henti-hentinya memeluk dan mencium keningku untuk menunjukan bahwa dia akan slalu ada untukku. Akupun mulai bangkit dari semua lamunanku dalam dekapan Fandi aku bertekat untuk mencoba menyatukan sahabat-sahabatku yang kini tak lagi kukuh dalam janji kami.
“aku percaya kamu pasti bisa sayang. Jangan pernah kamu menyerah dan terpuruk dalam masalah-masalah yang sedang kamu hadapi aku yakin kamu bisa melewatinya dan aku akan selalu disisimu dalam keadaan apapu Rara sayang.” Bisik Fandi yang masih memeluk tubuhku yang semakin erat dia memeluknya.
***
Pagi yang indah dengan ribuan suara burung yang merdu dan embun masih terasa basah mengenai kulitku. Aku duduk didalam angkot yang masih sedikit penumpag yang diangkut. Pagi ini sebelum malam tahun baru aku berencana mempertemukan mereka bertiga untuk menyelesaikan masalah kami. Aku tidak ingin persahabatan kami terus memanas.
Sesampainya aku dirumah astrid, dihalamannya aku terdiam sebentar. Aku melihat sekeliling rumah asrid yang terlihat sepi. Taman yang kotor dengan banyaknya daun yang berguguran. Perlahan-lahan aku berjalan menuju pintu utama dan selangkah aku perjalan aku mendengar jeritan yang sangat lantang dari dalam rumah itu. Setelah mendengar jeritan itu, aku mempercepat langkahku dan membuka pintu itu, yang ku lihat astrid yang terkapar dilantai dengan darah dipergelangan tangannya. Aku segera membawa astrid yang dengan penuh darah dinadinya kerumah sakit. Kebingungan, ketakutan, kekhawatiran dan kesedihan mulai menguasai diriku seperti aku tak mampu menopang diriku sendiri.
***
Sampailah aku dirumah sakit, tanganku masih berlumuran darah. Disana aku seperti orang yang sedang dikejar-kejar rasa takutku sendiri. Syasya dan Thata pun tiba dirumah sakit dan langsug memegang pundakku dengan memberontak dan mata mereka haus akan pertanyaan-pertanyaan. Aku masih tak tersadar dari fikiranku sendiri, aku masih tak percaya dengan apa yang sedang aku lihat dan aku saksikan. Sahabatku mencoba ngengakhiri nyawanya sendiri.
“Ra…. Bagaimana keadaan astrid?” tanya Thata dengan memengang tanganku
“Ra…. Kamu jangan diam aja dong, kami tanya bagaimana keadaan astrid dan kenapa sampai kayak gini?” sambung syasya dengan penuh rasa penasaran.
“A….aku…. aku nggak tahu, aku datang astrid udah terkapar dilantai dengan darah dinadinya.” Jelasku dengan masih tak percaya.
Dokterpun keluar dari kamar Astrid dan langsung menemui kami yang penasaran dengan keadaan Astrid.
“kalian keluarganya?” tanya dokter kepada kami yang berdiri didepan pintu.
“kami sahabatnya dok. Bagaimana keadaan sahabat kami dok?” tanya Syasya.
“syukur alhamdulilah, sahabat kalian bisa terselamatkan. Ini berkat adek ini yang cepat membawanya ke rumah sakit, telat beberapa menit saja bisa fatal.” Jelas dokter sambil meligat kearahku yang msih nampak seperti orang yang hilang kesadaran.
Kami benar-benar bersyukur dan merasa lega dengan kabar yang diberikan kepada kami semua. Diaknosa dokter mengatakan ada sedikit gangguan syaraf di dalam otak astrid sehingga dia nekat melakukan hal-hal diluar akal sehat. Itu semua diakibatkan dari masalah-masalah yang sedang diahadapinya dan hanya orang-orang didekatnyalah yang bisa menyembuhkannya.
***
Ke esokan harinya bertepatan dimalam tahun baru, astrid pun mulai tersadar dari obat bius yang diberikan dokter dan saat dia tersadar aku yang sedang berada bersamanya. Aku tersentak saat astrid menyebuat nama kami bertiga segeralah aku memberi kabar Thata dan Syasya untuk kerumah sakit. Saat itu astrid terus-terusan memanggil nama kami dan dia ingin segera bertemu Thatha dan Syasya,
Tak lama beberapa jam Thata dan Syasya tiba dirumah sakit dan kami berempatpun saling pertemu. Tatapan kami terus tertuju pada astrid yang sedang terbaring lemah diatas bulu-bulu lembut yang menopang tubuhnya yang masih lemah.
“Tha….” Kata astrid yang menatap kearah Thata.
“iya, As..” jawab Thata seraya memegang tangan Astrid.
“maafin aku ya, yang selalu mementingkan ego ku. Aku seharusnya seneng melihat kamu bersama Indra. Aku hanya takut kamu tak perduli lagi dengan kita saat setelah kamu jadian dengan indra.” Jelas astrid yang terus menatap Thata dengan mata yang berkaca-kaca.
“iya Tha.. maafin aku juga ya jika aku selalu menghakimi kamu. Aku hanya takut kehilangan sahabat seperti kamu.” Lanjut Syasya yang mendekat kearah Thata.
“hemmmm…(sedikit mengambil nafas). Iya kawan, aku sudah memaafkan kalian semua. Aku juga tak menyalahkan kalian dengan apa yang kalian perbuat kepadaku dan aku tak akan pernah meninggalkan kalian, sahabat-sahabatku”  jawab Thata dengan tersenyum kepada kami. Kamipun membalas senyumannya dan kami kembali akur seperti kaca-kaca yang baru.
“hay.. hay.. malam ini malam tahun baru temen-temen, bagaimana kalau kita lihat kembang api barengan?” selaku untuk mencairkan suasanya.
“Tapi astrid masih dalam perawatan.” Lanjut Thata.
“aku udah baekkan kok kawan.” Jawab astrid sambil melihat kearah Thata.
“Oke, kalau begitu nanti malam kita bawa kabur Astrid.” Syasya member ide dengan wajah yang berbinar-binar. Kamipun setuju dengan ide Syasya.
***
Malam harinya kami bertiga melancarkan aksi kami untuk membawa astrid kabur dari rumah skiat. Mungkin ide ini, ide yang gila dan terlalu beresiko karena keadaan astrid yang masih belum setabil tapi kami akan selalu menjaga astrid dan kami akan selalu bersamanya.
Sebelum jam 12 malam kami telah sampai dibukit belakang rumah sakit. Kami menantikan kembang api bersama-sama tanda bergantian tahun. Tak lama beberapa menit (siittttttttt…….. terrrrrr…. Siiiittttt…….. duuooorrrrrr) pesta kembang api dimulai. Kami berempat terpanah melihat keindahan itu, dan kami menikmati pergantian tahun bersama-sama. Kami saling menatap satu sama lain, tersenyum dalam kedamaian.
Inilah persahabatan yang indah yang menjadi kado terindah dimalam tahun baru ini. Aku dan semua masalalu ditahun kemarin akan menjadi catatan-catatan terindah dan terpahit. Membuka kembali catatan-catatan yang akn membuatku dan orang disekelilingku menjadi lebih baik, menjadikan semua catatan-catatan yang lalu sebagai pelajaran dan pengalaman. Tak perlu kita selalu melihat dan membuka catatan-catatan itu. Ku tutup catatan masalaluku dan ku buka catatan tahun baruku. HAPPY NEW YEAR ALL.


by: Winda Prameswara